Jumat, 01 Maret 2013

Seni Ukir Tuban yang Kini Kian Diminati Pasar

Yakin Produk Lokal yang Terbaik

SENIMAN UKIR: Bapak Wait salah seorang yang menekuni ketrampilan ukir khas Tuban.

Tuban memang tidak memiliki predikat sebagai kota ukir seperti halnya Jepara atau Kudus. Namun, itu bukan berarti di Bumi Wali ini tidak memiliki pengrajin ukir. Sebut saja, Wait. Warga Widengan, Gedongombo, Semanding ini sejak lama menekuni ketrampilan ukir khas Tuban.

   Seni pahat atau seni ukir memang kurang begitu dikenal di Kabupaten Tuban. Namun hal itu tak lantas membuat Wait berkecil hati. Dia nekat mempelajari teknik ukir secara autodidak dengan mengasah kemampuan seni ukirnya. Upayanya kini berbuah hasil manis. Lelaki yang hanya bermodalkan lulusan kelas 5 SD ini memulai usahanya sejak tahun 1972.
“Saya pernah membaca, kalau ke depannya produk lokal itu jadi best (terbaik) di Indonesia. Makanya saya hadirkan produk asli dari Tuban (Jawa Timur),” ujar Pak Wait.                                  
Semula, Wait hanya iseng mengukir sembarang pohon kayu. Lambat laun, kayu jati menjadi sasarannya.“Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap, meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan sehingga disukai para pengrajin ukiran,” ujarnya
Seni-seni yang diciptakannya sendiri yang direalisasikan menjadi sebuah karya seni ukir kayu adalah keunggulannya. Tak diduga, hasil karyanya mendapat perhatian warga sekitar. Beberapa orang langsung memesannya. Uang hasil penjualan karya seni ukirnya itu kemudian digunakan membeli tambahan modal kayu jati bahan ukiran. Sebab dia tak memiliki cukup modal sekedar membeli peralatan pahat maupun kayu bahan ukiran.
 Pria paruh baya ini mulai menggeluti usaha pembuatan kerajinan kayu ukir dengan bahan dasar kayu jati lokal asli Tuban dengan kreasi seni ukiran khas Tuban dengan modal awal Rp 1 juta. Kerajinan rumahan yang diberi nama Jati Seni ini,  memberinya penghasilan Rp 17 juta satu shet (meja dan 2 kursi) atau satu kali pesanan. Dia mengaku usaha kayu ukir yang dibuatnya memiliki variasi corak batik yang beragam seperti bunga, burung, macan, kaligrafi dan lain-lain. Dia juga menerima blubud kayu dan segala hal tentang kayu. Proses pembuatan kayu ukir ini memerlukan 15 hari untuk satu meja atau satu kursi.
Dalam alat kerjanya, Wait menggunakan 40 macam alat pahat yang dibelinya dari Jepara. ‘’Cara pembuatan kayu ukir dimulai dari mengukur kayu, menggambar dan mengukir kayu, menggosok dengan rempelas, menggunakan viler atau tiner, menggosok sampai halus setelah itu di finis atau di gilapkan,’’’ujarnya. Hanya saja, bagi masyarakat yang ingin memesannya harus sedikit bersabar karena proses pengerjaannya yang membutuhkan waktu agak lama. Apalagi dengan proses pembuatan yang masih mengandalkan keterampilan tangan (handmade), waktu pengerjaan ditentukan oleh ukuran dan tingkat kerumitannya.
 “Namun tidak perlu khawatir. Meski waktunya lama, dari sisi kualitas sangat terjaga. Kami sangat menjaga kualitas produk karena kami tidak ingin konsumen kecewa. Kerajinan ini butuh ketekunan dan ketelitian sehingga produk yang dihasilkan sempurna dan memuaskan konsumen,” jelasnya.
Soal keuntungan, Wait dengan rendah hati mengatakan, hasil yang didapat cukup untuk makan sehari-hari, menggaji karyawan yang sekaligus putra pertamanya, dan berbelanja bahan baku lagi. Namun dilihat dari harga per karyanya yang tidak murah, setidaknya Wait mengantongi keuntungan jutaan rupiah.”Memang harganya tidak murah karena sebanding dengan tingkat kesulitan dan daya kreativitasnya,”ujarnya
Layaknya pebisnis pada umumnya, Wait juga menemui sejumlah kendala dalam usahanya. ”Kendala yang dihadapi adalah dalam proses pesanan yang terlalu banyak keterbasan pegawai dan alat produksi,” ungkapnya.
Untuk menjalankan usaha yang didirikan selama dua puluh lima tahun ini, Wait tidak mengambil pegawai. Usaha ini hanya dijalankan oleh dua orang saja, yang dipekerjakan sebagai pengelolah kayu adalah Ruhanto putra pertamanya dan sebagai pengukir adalah bapak wait sendiri. Meskipun demikian ia tetap mengedepankan kemampuannya dalam bidang seni ukir demi melanjutkan usahanya. Wait menuturkan, meski usahanya mengalami kondisi pasang surut, dengan keyakinan yang kuat, dia mampu bertahan di tengah gelombang pengusaha furnitur yang berskala lebih besar. ‘’Asalkan kita punya niat besar, kemampuan kita bisa dikembangkan untuk tetap menghasilkan keuntungan,” tandasnya.
Wait yang membuka usaha di desanya, Widegan, Gedongombo, Semanding ini mengaku selama ini kapasitas produksinya terbatas karena dikerjakan secara manual. Dia berharap pemerintah dapat memperhatikan nasib para seniman kecil, seperti dirinya, agar lebih berkembang dan maju. Terutama berkaitan dengan modal usahanya. “Kalau karya seni kita terkenal, toh nama Tuban juga akan menjadi harum,” pungkasnya (hafydz)

0 komentar:

Posting Komentar